Minggu, 06 Januari 2008

Pengalaman Mengurus Perpanjangan SIM di Poltabes Samarinda

Pada hari Jumat, 23 Nopember 2007 saya mengurus perpanjangan SIM A di Poltabes Samarinda, Kalimantan Timur. Saya berangkat sekitar pukul 8.00 WITA dengan harapan antrian yang ada belum panjang. Saat tiba di sana keadaan masih sepi. Setelah melapor pada petugas loket, saya diarahkan untuk melakukan tes kesehatan terlebih dahulu di praktik dokter yang telah ditunjuk sebelum mengambil formulir. Ketika hendak menuju ruang praktik dokter yang berada di seberang jalan kantor Polisi, ada seorang pria menawarkan jasanya untuk membantu proses perpanjangan SIM saya. Dari pakaian yang dikenakannya, saya dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa dia adalah seorang polisi. Tentu saja kecuali bila kaos olahraga Poltabes Samarinda yang berwarna coklat muda itu dijual bebas di pasaran, jadi siapapun bisa memakainya. Sungguh sangat kontras dengan tulisan-tulisan yang dipajang di dinding ruang Bagian SIM yang intinya tentang larangan menggunakan jasa calo dalam mengurus SIM, sementara calonya sendiri adalah seorang Polisi. Mungkin ini adalah salah satu contoh nyata dari pepatah “gajah dipelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat”.

Tempat tes kesehatan ternyata baru buka sekitar pukul 9.00 WITA. Tidak ada antrian yang jelas, ataupun nomer urut antrian. Yang ada hanyalah kumpulan orang yang berebut agar dapat giliran tes duluan. Tampaknya ketidaksabaran masih menjadi ‘budaya’ orang Samarinda. Untuk sesaat sempat terlintas rasa malu menjadi warga Samarinda, haruskah saya berbudaya seperti mereka? Setelah mendaftar, saya pun menunggu giliran dipanggil. Tes kesehatan yang dimaksud ternyata hanyalah tes buta warna. Ada satu kejadian yang menarik perhatian saya. Entah kenapa, ada seorang pria yang diminta untuk menggambar ‘orang’ di selembar kertas kosong. Sebuah tes yang sangat familiar bagi saya, seorang mahasiswa psikologi, yaitu tes DAP. Yang membuat saya prihatin adalah tidak diperhatikannya administrasi tes DAP. Ruangan tes yang tidak layak dan meja sebagai alas menggambar yang tidak rata. Entah bagaimana dengan jenis kertas, jenis pensil dan keruncingan pensil yang digunakan, apakah sesuai dengan administrasi tes atau tidak. Tentu saja saya jadi berburuk sangka, dengan mempertanyakan berwewenangkah sang tester untuk melakukan tes DAP, dan apakah interpreter tes tersebut adalah seorang psikolog.

Setelah mendapatkan hasil tes kesehatan, saya pun melanjutkan proses perpanjangan SIM. Membeli formulir, lalu menunggu giliran untuk mendapatkan semacam kuitansi atau resi. Setelah itu saya mengisi formulir dan mengembalikannya lagi ke loket selanjutnya untuk menunggu giliran cek data. Setelah cek data saya mendapatkan nomor antrian untuk foto di ruang produksi SIM, dan kembali menunggu giliran dipanggil. Selama tiga kali menunggu tersebut –tidak termasuk menunggu giliran tes kesehatan-, saya berkesempatan memperhatikan orang-orang di ruangan tersebut. Ada seorang calo yang mengurus SIM untuk 7 orang. Ada seorang tentara, entah dari bagian mana, yang membawa 2 orang. Ada seorang Provost yang menguruskan SIM 1 orang. Belum lagi mereka yang dibantu oleh ‘orang dalam’. Pada umumnya proses yang mereka lalui cukup cepat, terutama yang dibantu oleh oknum Provost tersebut. Beli formulir, isi, langsung masuk ke ruang produksi SIM untuk foto. Begitu pula dengan mereka yang dibantu oleh ‘orang dalam’. Saya hanya berpikir, jika antrian saya terus menerus dilangkahi seperti ini entah kapan saya akan mendapat giliran untuk masuk ke ruang produksi SIM dan menunggu giliran untuk difoto. Seandainya saja dipisahkan loket ‘urus sendiri’ dan loket ‘diuruskan’, mungkin antrian di loket ‘diuruskan’ akan jauh lebih panjang.

Akhirnya sekitar pukul 12.30 WITA nomor urut saya dipanggil untuk masuk ke ruang produksi SIM bersama 9 nomor urut lainnya. Yang membuat saya heran adalah yang berkumpul di ruang tersebut untuk menunggu giliran difoto ada sekitar 30 orang. Syukurlah setelah tanda tangan, cap jempol, dan difoto, saya hanya perlu menunggu sekitar 10 menit untuk mendapatkan SIM A saya yang telah diperbaharui.

Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa. Tampaknya jika semua pelaku KKN dihukum mati seperti di Cina, Indonesia akan menjadi sepi.

Ferry Aldino
Warga Samarinda, sedang melanjutkan studi di Yogyakarta